Jumat, 27 Januari 2012

SANTRI dalam sorotan

Ach. Hidayatul Arifin Hasan
Tidak asing lagi bagi kita, bahwa santri adalah sosok pelajar agama yang senantiasa tekun melakukan perintah Alloh dan menjauhi larangannya. Santri identik dengan pelajar sarungan dan tidak pernah lepas dari kopiah putihnya, dan tasbih selalu ada di tangannya. Di mata masyarakat santri dianggap orang yang putih dan bersih dari dosa, sehingga tidak heran kalau masyarakat dulu jika kiyai tidak ada maka santrilah yang bisa menggantikan posisinya. . Tidak jarang di kalangan  masyarakat tradisional ketika salah satu keluarganya sakit maka mereka pergi ke salah satu santri terdekat untuk meminta air barokah untuk kesembuhan keluarganya tadi. mau mengadakan haul atas selamettan maka mesti mereka mengundang santri untuk mendoakannya, hal itu karena mereka menganggap bahwa santri bisa segala-galanya

Tapi apakah hal itu masih berlaku pada masa sekarang ? Benarkah santri saat ini tetap seperti diatas ? sebuah pertanyaan besar yang menjadi tantangan tersendiri bagi santri itu sendiri. Disini penulis akan melihat dan menelaah eksisitensi santri saat ini dari beberapa sudur pandang.
1. Tujuan masyarakat.
pada masyarakat saat ini (masyrakat modern) jauh berbeda sekali dengan masyarakat saat dulu (masyakat klasik/tradisional), kalau pada saat dulu orang tua memasukkan anaknya ke dalam pondok pesantren murni untuk belajar agama (disamping khidmat pada kiyai) dan tidak ada batas waktu yang tidak ditentukan. sehingga santri ada di pondok pesantren hingga ada yang puluhan tahun baru berhenti (boyong). Itu pun kalau sudah mau nikah dan mendapat restu dari kiyai. Berbeda dengan orientasi orang tua saat ini, mereka memasukkan anaknya ke dalam pondok pesantren dengan ada batas waktu tertentu, seperti setelah mendapatkan ijazah sekolah formal. Jadi orang tua sudah tidak berorientasi lagi pada ilmu tapi pada ijazah formal itu sendiri.Akibatnya anak yang keluar dari pondok pesantren masih tidak jelas disiplin keilmuannya. sehingga ketika mereka terjun di tengah-tengan masyarakat merasa minder, karena merasa tidak mampu.
2. Pondok pesantren
Pondok pesantren saat ini rata-rata sudah melaksanakan pendidikan formal, mulai dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah , aliyah dan bahkan perguruan Tinggi. Hal ini memang sebuah tuntutan pada pesantren dari masyarakat modern saat ini. Sehingga kalau kita lihat Pondok Pesantren yang tetap pada kesalafannya (maaf bukan berarti penulis menganggap yang ada formalnya sudah tidak salaf lagi) tidak mendirikan pendidikan formal sedikit demi sedikit sudah mulai ditinggal oleh masyarakat.
Akan tetapi Kiyai dangan semua stekholdernya harus bisa mensiasati situasi saat itu. Karena walau bagaimanapun pendidikan keagamaan harus menjadi prioritas pesantren. Memang benar anggapan sebagian orang bahwa santri setelah keluar dari pesantren tidak semuanya menjadi kiyai. Itu benar karena jabatan profesi atau pekerjaan apapun itu sudah ada ketentuan dai-Nya, akan tetapi pangkat apapun yang akan mereka sandang tetap mempertahankan nilai-nilai santri itu sendiri.Bagaimana mereka bisa menjadi petani yang santri, Pegawai Negeri yang santri, hakim yang santri dan lain sebagainya.

3. Alokasi Waktu
Seperti kita ketahui bersama bahwa alokasi waktu belajar santri antara pendidikan formal dan non formal, lebih banyak untuk pendidikan formal. Santri mulai jam 06.30 WIB sudah harus siap-siap untuk masuk sekolah formal, baik yang tingkat ibtidaiyah, Tsanawiyah atau pun yang aliyah, dan baru keluar dari sekolah setelah jam 12.00. jadi sekita 06 jam stengah dihabiskan untuk pendidikan formal. Sementara untuk non formal hanya mulai jam 15.30  WIB sampai 16.45 WIB. waktu yang relatif sedikit. memang selain sekolah di non formal seperti diatas masih ada tambahan belajar seperti ngaji kepada kiyai, munadloroh, muroja'ah dan lain lain, akan tetapi keefektifannya masih dipertanyakan.
4. Minat belajar santri
Kitab kuning kalau dulu menjadi target santri dalam sebuah pondok pesantren. sehingga santri dianggap berhasil kalau sudah mumpuni dalam membaca dan memahami kitab kuning. santri harus bersabar bertahun-tahun berada di pondok pesantren kalau masih belum merasa bisa membaca kitab kuning. untuk saat ini hal itu jarang sekali kita temukan, bahkan bisa dianggap minim sekali. Entah kenapa? barang kali hal itu akibat dari tujuan diatas atau memang keadaan sudah berubah. memang kita akui bahwa jarang sekali sekarang kalau ada santri keluar dari pondok pesantren ditanyakan sudah bisa baca kitab kuning apa enggak? tapi pertanyaan yang muncul di masyarakat yaitu " Udah punya Ijazah apa' ? Sudah sarjana ? dan lain lain.













 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar