Jumat, 24 November 2017

TAHLILAN "Antara Sunnah dan Tradisi"




TAHLILAN
"Antara Sunnah dan Tradisi"[1]
Oleh : Hasan Basri, M.Pd.I

1.        Pengertian Tahlilan
Tahlilan adalah upacara bersama yang dilakukan oleh keluarga mayyit pada hari meninggalnya si mayyit sampai hari ke tujuh. Biasanya acara tahlilan diisi dengan bacaan surat yasin, tahlil, tasbih secara bersamaan dan diakhiri dengan do'a, yang pahala semua itu ditujukan (dihadiahkan /dikhususkan)  kepada ruh si mayyit agar diampuni dosa-dosanya atau diberi tempat yang layak di sisi Alloh SWT.
Pada umumnya setelah acara tahlil itu dilaksanakan maka para tamu itu disuguhi dengan makanan ala kadarnya tergantung kemampuan keluarga si mayyit.Dan biasanya para tetangga sekitar atau sanak family dari keluarga mayyit membawa sumbangan berupa beras atau yang lainnnya kepada pihak keluarga.Hal itu bertujuan untuk dapatnya sumbangan itu diberikan kepada para tamu yang datang untuk melayat atau ta'ziyah.
Hal itu sudah menjadi tradisi dikalangan masyarakat Madura pada khususnya, masyarakat NU pada umumnya.Dan upacara seperti itu terus berlanjut dilaksanakan oleh pihak keluarga mayyit, yang biasanya dilaksanakan pada ke 40 harinya, 100 harinya 1000 harinya. Dan terus dilaksanakan setiap tahun pada hari kematiannya yang dikenal dengan haul.
2.        Pandangan Ulama' Terhadap Upacara Tahlilan
Dalam menyikapi tradisi tahlilan diatas terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama'. Ada yang mengatakan hukumnya sunnah, mubah dan makruh . Dan tidak ada satupun dari kalangan ulama' salaf bahwa acara tahlilan itu haram tidak diperbolehkan sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian kelompok islam yang mengaku pengikut sunnah (Wahhabi).
Berkaitan dengan masalah diatas, disini penulis akan membahas acara tahlilan itu dari tiga sudut pandang,pertama; tentang hukum berkumpul di rumah keluarga mayit untuk membaca al qur'ans serta dzikir untuk mayit.Kedua; tentang pemberian jamuan / hidangan dari pihak keluarga mayit, Ketiga; tentang penghadiahan pahala baca'an al-qur'an, dzikir, istighfar dan lain-lain kepada mayit.
a)        Tentang hukum berkumpul di rumah keluarga mayit untuk membaca al qur'an, dzikir dan lain-lain untuk mayit.
Hukum mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca yasin, tahlil, istighfar dan lain-lain (tahlilan) yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, seperti yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat di berbagai tempat hukumnya boleh (jaiz). Sebagaimana penjelasan Imam as syaukani dibawah ini :
العادة الجارية في بعض البلدان من الاجتماع فى المسجد لتلاوة القران على الاموات. وكذلك فى البيوت وسائر الاجتماعات التي لم ترد فى الشريعة لا شك ان كانت خالية عن معصية سليمة من المنكرات فهي جائزة لان الاجتماع ليس بمحرم بنفسه لا سيما اذا كان لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها ولا يقدح فى ذلك كون تلك التلاوة مجعولة للميت فقد ورد جنس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما في حديت اقرؤا يس من الجماعة الحاضرين عند الميت او على قبره وبين تلاوة جميع القران او بعضه لميت في مسجده او بيته
Kebiasaan di sebagian Negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, rumah, diatas kubur, untuk membaca al qur'an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya adalah boleh (jaiz) jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari'at kegiatan melakukan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram finafsih), apalagi jika didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca al qur'an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca al qur'an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits sahih seperti اقرؤوا يس على موتاكم .( bacalah surat yasin kepada orang mati diantara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca al qur'an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau dirumah.[2]
b)   Masalah jamuan / hidangan yang dikeluarkan oleh pihak keluarga mayit.
Adapun hidangan yang dikeluarkan oleh pihak keluarga mayit kepada para tamu yang ta'ziyah atau kepada tamu yang tahlilan selama tujuh hari itu hukumnya boleh.mereka beralasan sebagaimana dibawah ini :
1. والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاده شيخنا يوسف السنبلاويني
Artinya : "Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun sesudahnya. Sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya.Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.[3]

2.قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال حدثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام.
Imam Ahmad bin Hanbal (sebagaimana dikutip oleh imam suyuti dalam kitab al Hawi li fatawi) dalam kitab az Zuhd nya berkata : Hasyim bin al qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata : Al Asyja'i meriwayatkan kepada kami dari sufyan, ia berkata , " Imam Thawus berkata[4] : seorang yang mati akan beroleh ujian dari Alloh dalam kuburnya selama tujuh hari. Maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.[5]
Jadi istilah 7 “tujuh hari” dalam acara tahlil bagi orang yang sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat Nabi SAW.Sebagaimana diatas.
Imam as suyuti berkata :
إن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
Artinya : “Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan madinah, maka yang  jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi SAW)”[6]
Berkaitan dengan perkataan thawus diatas imam suyuti mengatakan; Jika sudah jadi keputusan, atsar Thawus diatas hukumnya sama dengan hadist Marfu’ Mursal dan sanadnya sampai pada tabi’in itu shahih, maka dapat dijadikan hujjah yang mutlak(tanpa syarat) bagi tiga Imam (Maliki, Hanafi, Hambali). Untuk Imam as-Syafi’iia mau berhujjah dengan hadis mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadis yang lain atau kesepakatan Shahabat. Dan, kelengkapan yang dikehendaki Imam as-Syafi’i itu ada, yaitu hadis serupa riwayat dari Mujahid dan dari ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.[7]
JadiBeliau menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam as-Syuyuti, abad IX Hijriyah) di mekah dan Madinah.Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi pertama (masa Sahabat Nabi Muhammad SAW).”
3.عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال: (خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في جنازة، فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر: أوسع من قبل رجليه، أوسع من قبل رأسه، فلما رجع استقبله داعي امرأة، فجاء وجيء بالطعام فوضع يده، ثم وضع القوم فأكلوا، فنظر نا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يلوك لقمة في فيه، ثم قال: أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها، فأرسلت المرأة قالت: يا رسول الله! إني أرسلت إلى البقيع يشترى لي شاة فلم أجد، فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلي بها بثمنها فلم يوجد، فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها، فقال رسول الله صلى الله عليه آله وسلم: أطعميه الأسارى)
Artinya : "Diriwayatkan oleh "Ashim bin kulaib dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata, "saya pernah melayat bersama Rasulullah SAW dan di saat itu saya melihat beliau menasehati penggali kubur seraya bersabda, "luaskan bagian kaki dan kepalanya". Setelah Rasulullah SAW pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan.Rasulullah memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama Beliau.Ketika beliau datang, lalu makanan pun dihidangkan.Rasulullah SAW mulai makan lalu diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, "Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah SAW sembari berkata, "Wahai Rasulullah SAW saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi' (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruh tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui isterinya dan ia pun mengirim kambingnya pada saya. Rasulullah SAW kemudian bersabda, "berikan makanan ini pada para tawanan".[8]
Kata داعي امرأة yang digunakan dalam hadis riwayat Abu daud ini sepintas memberi pemahaman bahwa yang mengundang nabi itu bukan istri si mayyit, tapi wanita lain. Namun dalam kitab Aunul Ma'bud syarah Sunan Abi daud redaksi yang digunakan adalah :داعي امرأته dengan dimudlafkan pada dlamir. Al Qari berkata bahwa yang dimaksud adalah orang yang telah meninggal dunia.[9]
(داعى امراة) .....   وفى المشكاة داعى امراته بالاضافة الى الضمير قال القاري أي زوجة المتوفى
Dengan demikian hadits tersebut menyatakan bahwa nabi Muhammad SAW diundang oleh keluarga si mayit, yakni isteri dari orang yang telah meninggal dunia itu.Nabi SAW dan para sahabatnya berkumpul di rumah duka sesudah jenazah dikubur dan memakan makanan yang disuguhkan kepadanya.
Berdasarkan hadits inilah Syekh Ibrahim al Halabi menyatakan bahwa keluarga mayyit boleh menyediakan makanan dan memanggil orang lain untuk berkumpul di rumahnya. Ibrahim al halabi berkata :
فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى إبَاحَةِ وَضْعِ أَهْلِ الْمَيِّتِ الطَّعَامَ وَالدَّعْوَةِ إلَيْه وان اتخذ ولي الميت طعاما للفقراء كان حسنا الا ان يكون فى الورثة صغير فلا يتخذ ذلك من التركة ِ
" Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayyit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada fakir miskin, hal itu baik.Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayyit".[10]
Berkaitan dengan hadits sebagaimana disebutkan diatas, Syekh Ismail Utsman Zein al Yamani  al Makki mengumentari sebagaimana berikut[11] :
وأما من حيث الدراية، ففي الحديث فوائد وأحكام. منها أن فيه علما من أعلام نبوة سيد المرسلين ومعجزة من معجزات خير الخلق أجمعين. وهي الإخبار عن حال الشاة وأنها أخذت ببيع فاسد غير صحيح لغير رضا مالكها. ولأجل ذلك ذكره صاحب المشكاة في المعجزات والحافظ البيهقي في دلائل النبوة. ومنها أن بيع الفضولي باطل غيرصحيح، ولأجل ذلك ذكره أبو داود في كتاب البيع. ومنها أن ما كان من العقود فيه شبهة ينبغي اجتنابه استبراء للدين وبعدا عن الوقوع في الحرام ولأجل ذلك ذكره أبو داود في باب اجتناب الشبهات. ومنها مسألة مهمة ولأجلها كانت كتابة هذه الرسالة، وهي ما يصنعه أهل الميت من الوليمة ودعاء الناس إليها للأكل فإن ذلك جائز كم يدل عليه الحديث المذكور بل هو قربة من القرب لأنه إما أن يكون بقصد حصول الأجر والثواب للميت، وذلك من أفضل القربات التي تلحق الميت باتفاق. وإما أن يكون بقصد إكرام الضيف والتسلي عن المصاب وبعدا عن إظهار الحزن، وذلك أيضا من القربات والطاعات التي يرضاها رب العالمين ويثيب فاعلها ثوابا عظيما. وسواء كان ذلك يوم الوفاة عقب الدفن كما فعلته زوجة الميت المذكورة في الحديث أو بعد ذلك. فالحديث نص صريح في مشروعية ذلك، وأما استحسانه والترغيب فيه وأنه قربة وطاعة فمستفاد من معنى المشروعية وحكمتها جريا على قواعد أهل الشرع وأصولهم. ولا ينافي ذلك الحديث المشهور، وهو قوله صلى الله عليه وسلم {اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم}. لأن هذا الحديث يختمل أن يكون خاصا بآل جعفر رضي الله عنه وعنهم أجمعين، وأن النبي صلى الله عليه وسلم رأى من شدة حزنهم أنهم لا يستطيعون أن يصنعوا لأنفسهم طعاما فأمر أهل بيته أن يصنعوا لهم ذلك، لأن الخطاب في الحديث لبعض أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال ذلك حينما بلغه حال آل جعفر رضي الله عنهم. فحينئذ يكون هذا الحديث إنما خصوصية لآل جعفر وواقعة عين فلا ينهض به الاستدلال على منع الوليمة من أهل الميت ولم يقل النبي صلى الله عليه وسلم من مات له ميت فلا يولم ولا يطعم الناس ولم يجئ في الحديث نهي رسول الله صلى الله عليه وسلم أهل الميت عن الوليمة وأن بطعموا غيرهم. بل الذي جاء في الحديث أن أهل الميت أولموا وأطعموا ودعوا الرسول صلى الله عليه وسلم ومن معه فأجاب دعوتهم وأقرهم على ذلك ولم ينكر عليهم إلا أخذ الشاة بغير بيع صحيح وبغير رضا مالكها.

Jika dilihat dari sisi dirayahnya, dalam hadits itu mengandung beberapa faidzah dan hukum. Diantaranya adalah :
1)   dalam hadits itu ada sebuah tanda dari beberapa tanda kenabian pimpinan para utusan (sayyidil mursalin) dan mengandung mu'jizat dari beberapa mu'jizat sebaik-baik seluruh makhluk, yaitu  ia dapat memberi kabar tentang keadaan kambing (yang sudah disembelih)  bahwa sesungguhnya kambing itu diambil dengan cara jual beri yang fasid (tidak sah) karena tidak dapat rido' dari pemiliknya. Karena itulah pengarang kitab al Misykat menyebutnya dalam bab mu'jizat dan imam al Hafidz al Baihaqi menyebutnya dalam dzalailunnubuwwah (tanda-tanda kenabian)
2)   (bahwa dalam hadits itu mengandung hukum bahwa) sesungguhnya menjual sesuatu yang bukan miliknya (bai' fudzuli) itu batal, tidak sah. Karena itu Imam Abu Daud menyebut hadits itu dalam kitab Bai' (bab tentang jual beli).
3)   (bahwa dalam hadits itu mengandung hukum bahwa) sesungguhnya transaksi (akad) yang mengandung syubhat sepantasnya dijauhi untuk membebaskan agama dan menjahkan diri untuk terjerumus kepada suatu yang haram. Karena itulah Imam Abu daud menyebutnya dalam babIjtinabus syubuhat (Menjauhi sesuatu yang syubhat).
4)   (bahwa dalam hadits itu ( mengandung masalah penting yang karena itulah risalah ini ditulis. Yaitu (bahwa) apa yang dilakukan keluarga mayyit (dengan mengadakan) walimah (menyembelih kambing serta memasak makanan) dan mengundang orang untuk memakannya maka hukumnya itu boleh sebagaimana hadits yang disebut diatas. Bahkan itu salah satu bentuk qurbah (mendekatkan diri kepada Alloh), hal itu karena (perbuatan tersebut) kadang-kadang bertujuan untuk mendapatkan pahala yang diperuntukkan kepada mayyit, hal itu merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Alloh yang paling utama yang ulama ittifaq (sepakat) bahwa pahalanya akan sampai kepada mayyit. Atau (pihak keluarga mayit) bertujuan menghormati tamu serta menghibur diri dengan tidak menampakkan kesusahannya. Hal itu juga bentuk dari mendekatkan diri kepada Alloh  dan ketaatan yang diridoi oleh (Alloh) Tuhan semesta alam dan orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala yang besar. Hal itu tidak ada bedanya (hukumnya boleh) baik dilakukan pada hari meninggalnya mayit setelah dikuburkan sebagaimana yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits tersebut diatas atau setelah itu ( yakni pada hari kesatu, kedua sampai ketujuh dan seterusnya).
Jadi, hadits itu adalah nas yang sorih (terang) bahwa (membuat dan menyuguhkan makanan oleh keluarga mayit)  itu disyariatkan (masyru').
Adapun menganggap baik dan senang terhadap perbuatan diatas dan sesungguhnya hal itu adalah  bentuqurbah (perbuatan mendekatkan diri kepada Alloh) dan ketaatan maka hal itu bisa dimbil faidzah dari arti dan hikmah masyru' (disyariatkan ) itu sendiri sebagaimana yang berlaku dalam qaidah-qaidah ahli syara' dan usul-usulnya.
Dan hadits itu, tidak menafikan terhadap hadits yang masyhur yaitu
اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم " (buatlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang kepada mereka sesuatu yang merepotkan/melupakan mereka"). Karena hadits ini dimungkinkan hanya khusus pada keluarga Ja'far, dimana sesungguhnya nabi SAW telah melihat mereka karena sangat susahnya tidak mampu untuk membuat makanan untuk dirinya sendiri, maka Nabi memerintahkan pada keluarganya untuk membuat makanan untuk mereka (keluarga ja'far). (Hal itu) karena khitab (sasaran) dalam hadits itu terhadap sebagian istri Rasululloh SAW ketika telah sampai kepada Beliau keadaan keluarga Ja'far RA.Maka jika demikian adanya, hadits ini hanya khusus pada keluarga Ja'far dan dalam kasus tertentu, sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang membuat makanan (walimah) dari pihak keluarga mayit.
            Dan Rasululloh SAW tidak mengatakan " Barang siapa meninggal dunia maka janganlah (keluarga mayit) membuat makanan dan memberikannya kepada orang lain". Dan tidak ada dalam hadits larangan Rasululloh kepada keluarga mayit dari walimah (membuat makanan ) dan memberikannya kepada orang lain. Bahkan yang ada dalam hadits bahwa keluarga mayit membuat dan memberikan makanan serta mengundang Rasululloh dan sahabat yang bersama beliau dan Rasululloh memenuhi undangannya. Sedang Rasululloh iqror tidak mengingkarinya hanya saja kambing (yang disembelih) itu diambil dengan jual beli yang tidak sah dan dengan tanpa rido'nya pemiliknya.
            Selanjutnya Syaikh Ismail Utsman Zeinal yamani alMakki mengatakan bahwa Imam al Allamah al Qari dalam kitab al Mirqat setelah menyebutkan hadits di atas mengatakan sebagaimana berikut :
هذا الحديث بظاهره يرد على ما قرره أصحاب مذهبنا من أنه يكره اتخاذ الطعام في اليوم الأول أو الثالث أو بعد الأسبوع كما في البزازية. وذكر في الخلاصة أنه لا يباح اتخاذ الضيافة عند ثلاثة أيام. وقال الزيلعي ولا بأس بالجلوس للمصيبة إلى ثلاث من غير ارتكاب محظور من فرش البسط والأطعمة من أهل الميت. وقال ابن الهمام يكره اتخاذ الضيافة من أهل الميت. والكل عللوا بأنه شرع في السرور لا في الشرور. قال وهي بدعة مستقبحة. روى الإمام أحمد وابن حبان بإسناد صحيح عن جرير ابن عبد الله قال كنا نعدّ الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعهم الطعام من النياحة إهـ. فينبغي أن يقيد كلامهم بنوع خاص من اجتماع يوجب استحياء أهل بيت الميت فيطعمونهم كرها أو يحمل على كون بعض الورثة صغيرا أو غائبا أو لم يعرف رضاه أولم يكن الطعام من عند أحد معين من مال نفسه لا من مال الميت قبل قسمته ونحو ذلك. وعليه يحمل قول قاضي خان يكره اتخاذ الضيافة في أيام المصيبة، لأنها أيام تأسف فلا يليق بها ما يكون للسرور، وإن اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا انتهى كلام القاري رحمه الله تعالى. وهذا كله كما هو ظاهر فيما إذا لم يوص الميت باتخاذ الطعام وإطعامه للمعزين الحاضرين، وإلا فيجب ذلك عملا بوصيته وتكون الوصية معتبرة من الثلث أي ثلث تركة الميت.
"Secara dzohir hadits ini menolak terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh ashabu madzhabina (santri-santrinya madzhab kami as syafii) bahwa membuat makanan pada hari pertama atau ketiga atau setelah tujuh hari (dari meninggalnya mayit) itu hukumnya makruh, sebagaimana dalam kitab al bazaziyah.Dan disebutkan dalam kitab al khulasah bahwa sesungguhnya tidak boleh membuat suguhan (bagi para tamu) pada hari ketiga (dari meninggalnya mayit).Imam az zaila'I mengatakan tidak apa-apa duduk-duduk (dirumah) orang yang ditimpa musibah sampai tiga hari dengan catatan tidak melakukan sesuatu yang dilarang seperti menghampar tikar dan makanan (yang dikeluarkan) oleh keluarga mayit. Imam Ibnu al himam mengatakan, makruh membuat makanan (untuk para tamu) dari pihak keluarga mayit.Mereka semua beralasan bahwa membuat makanan itu disyariatkan ketika dalam keadaan bahagia bukan dalam kesusahan /kejelekan, itu adalah bid'ah yang jelek.
Imam Ahmad dan imam Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dengan sanad yang sahih dari Imam Jarir ibn Abdillah ia berkata: kami menganggap perkumpulan orang yang hadir di rumah keluarga mayit dan menyuguhi makanan kepada mereka itu termasuk niyahah.
Maka seyogyanya perkataan mereka semua  diqoyyidi (dibatasi) dengan perkumpulan yang menimbulkan keluarga mayit merasa malu sehingga dia memberikan makanan dengan terpaksa. Atau dimungkinkan ada sebagian ahli waris yang masih kecil, ghaib (tidak ada di tempat), atau tidak diketahui keridoannya, atau makanan itu bukan dari harta pribadi orang tertentu ( dan atau makanan itu diambilkan ) dari harta mayit sebelum dibagikan (kepada ahli warisnya)  atau semisalnya. Kepada  inilah perkataan Qodi Khon dimungkinkan/dimahmulkan. Ia (Qadi Khon, mengatakan) makruh membuat makanan (yang disuguhkan kepada para tamu) pada hari-hari (orang menerima) musibah, karena itu adalah hari-hari berduka, dan jika membuat makanan untuk orang-orang fakir maka itu baik".Demikian penjelasan imam al Qari.
Ini semua (kata syaikh Ismail Utsman Zein) sebagaimana sudah jelas apabila mayit yang meninggal tidak berwasiat untuk membuat makanan dan memberikannya pada orang-orang yang hadir yang berta'ziyah.Jika (mayit yang meninggal berwasiat seperti diatas) maka membuat makanan dan menyuguhkan kepada para hadirin yang melayat hukumnya wajib untuk memenuhi wasiat tadi.Dan wasiat itu (hanya) sah dari sepertiga harta peninggalan mayit.[12]
Terakhir, Syekh Ismail Utsman Zein al Yamani al Makki berkomentar sebagaimana berikut :

أقول فقول صاحب المرقاة فينبغي أن يقيد كلامهم إلخ هو جار على ما عليه أهل السنة والجماعة من أن التحسين والتقبيح شرعيان وليسا بالعقل، وحينئذ إذا لم يوجد ما هو مستقبح شرعا في الوليمة المذكورة مثل كونها من مال القاصرين أو بغير رضا بعض الورثة أو مع إظهار الحزن والتأسف فهي حينئذ مستحسنة شرعا، لأنها إما إكرام للضيف من المعزين وغيرهم وإكرام الضيف فضيلة. وإذا استصحب معه قصد التسلى من المصاب كان ذلك أفضل. وإما لقصد التصدق عن الميت وإيصال الثواب إليه، فهي حينئذ مستحبة شرعا وفضيلة بالإتفاق. روى البخاري ومسلم عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت روحها وأظنها لو تكلمت تصدقت أفأتصدق عنها ؟ قال: نعم. تصدق عنها فلها أجر إهـ. ففي هذا دليل واضح ونص صريح فيما قاناه
Saya berkata (kata syaikh), perkataan ulama pengarang kitab al mirqat, yaitu " maka seyogyanya perkataan mereka itu diqoyyidi dst " itu berjalan sesuai dengan apa (yang menjadi pedoman) ahlussunnah wal jamaah, bahwa sesungguhnya (yang berhak) menganggap baik dan buruk itu syara' bukan dengan akal atau logika. Jika demikian apabila dalam syara' tidak ditemukan dalil yang menganggap walimah (membuat makanan dan menyuguhkan kepada orang lain) itu jelek semisal diambil dari harta orang-orang yang kurang sempurna (seperti anak kecil) atau tidak dengan ridonya sebagian ahli waris, atau diiringi dengan kesedihan dan duka (yang berlebihan) maka perbuatan tersebut dianggap baik secara syara'.
Hal itu karena (tujuan dari pihak keluarga mayit) adakalanya untuk menghormati para tamu yang berta'ziyah atau lainnya, sedang menghormati tamu adalah suatu keutamaan.Dan jika sambil diiringi dengan tujuan menghibur dirinya hati (orang yang ditimpa musibah) maka itu lebih utama lagi.Dan adakalanya (pihak keluarga mayit dengan menyuguhkan makanan pada tamu) bertujuan untuk bersedekah yang pahalanya diperuntukkan bagi si mayit. Maka jika demikian perbuatan itu adalah sunnah (mustahab) secara syara' dan suatu keutamaan dengan kemufakatan para ulama'. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Siti 'Aisyah RA " bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: Wahai Rasulullah …! Sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia secara mendadak, saya mengira seandainya ia dapat berbicara (berwasiat) tentu ia akan bersedekah. Apakah saya akan bersedekah atas namanya? Nabi Muhammad SAW menjawab, "Ya". Bersedekahlah atas namanya maka ia akan mendapatkan pahala. Maka dalam hadits ini adalah dalil yang jelas dan nashyang sarih (terang) terhadap keterangan yang saya sebutkan.[13]
c)    Tentang penghadiahan pahala baca'an al-qur'an, dzikir, istighfar dan lain-  lain kepada mayit.
Penghadiahan pahala baca'an al-qur'an, dzikir, istighfar dan lain-  lain kepada mayit itu semuanya sampai kepada mayit, dan mayit mendapatkan manfaat dari semua itu.  Dalam kitab Nailul Authar al Syaukani mengutip syarh kitab al Kanz sebagai berikut.
وقال في شرح الكنز : إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن أو غير ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه عند أهل السنة انتهى
"Dalam kitab Syarah al  Kanz disebutkan bahwa seorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan baik yang ia kerjakan kepada orang lain baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan al qur'an atau semua bentuk perbuatan baik lainnya, dan pahala tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama' ahlussunnah"[14]
Imam Wahbah Az Zuhaili dalam kitab al fiqh alislami menyebutkan sebagaimana berikut :
وقال جمهور أهل السنة والجماعة : للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة أو صوماً أو صدقة أو تلاوة قرآن، بأن يقول: اللهم اجعل ثواب ما أفعل لفلان، لما روي أن النبي صلّى الله عليه وسلم «ضحى بكبشين أملحين، أحدهما عن نفسه، والآخر عن أمته، ممن أقر بوحدانية الله تعالى، وشهد له بالبلاغ»  فإنه جعل تضحية إحدى الشاتين لأمته. ولما روي أن رجلاً سأل النبي صلّى الله عليه وسلم فقال: « كان لي أبوان أبرهما حال حياتهما، فكيف لي ببرهما بعد موتهما؛ فقال له عليه الصلاة والسلام: إن من البر بعد البر: أن تصلي لهما مع صلاتك وأن تصوم لهما مع صيامك».
Mayoritas ulama' ahlussunnah wal jamaah mengatakan bahwa boleh bagi seseorang menghadiahkan pahala amal kebaikannya kepada orang lain, seperi shalat, puasa, shadaqah,bacaan al qur'an, dengan mengatakan "Ya Allah saya berikan pahala yang saya kerjakan kepada pulan..".karena ada hadits bahwa Nabi SAW berkurban dengan dua kambing yang  salah satunya untuk dirinya sendiri sedang yang kambing satunya diperuntukkan untuk umatnya. Dan juga hadits bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, ia mengatakan : "(wahai Rasulullah) saya mempunyai dua orang tua, saya telah berbuat baik kepada keduanya kertika masih hidupnya, bagaimana cara saya berbuat baik kepada keduanya ketika mereka sudah meninggal dunia?" nabi menjawab : "sesungguhnya perbuatan yang sangat baik adalah lakukanlah shalat untuk keduanya disamping shalat kamu, dan berpuasalah untuk keduanya disamping puasa kamu."[15]
            Sementara terjadi perbedaan pendapat untuk kalangan madzhab Syafi'I untuk sampainya pahala bacaan al qur'an kepada mayit. Kalangan pendahulu-pendahulu syafiiyah mengatakan bahwa mayit tidak mendaptkan pahala selain perbuatannya sendiri seperti shalat dan bacaan al qur'an. Sementara kalangan madzhab syafi'I kebelakang (mutakhkhirin) sebagaimana juga pendapat dari ketiga madzhab lainnya menyatakan bahwa pahala bacaan al qur'an itu sampai kepada mayit.[16] Seperti dijelaskan oleh Wahbah az Zuhaili sebagai berikut :
وقال متقدمو الشافعية: المشهور أنه لا ينفغ الميت ثواب غير عمله، كالصلاة
عنه قضاء أو غيرها وقراءة القرآن. وحقق المتأخرون منهم وصول ثواب القراءة للميت، كالفاتحة وغيرها. الى ان قال: .
وبذلك يكون مذهب متأخري الشافعية كمذاهب الأئمة الثلاثة: أن ثواب القراءة يصل إلى الميت،
والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار . وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى
Sementara salah seorang tokoh syafiiyah Syekh Zakaria al Anshari mengatakan:
وقال شيخ الإسلام زكريا الأنصارى الشافعى إن مشهور المذهب أى فى تلاوة القرآن محمول على ما إذا قرىء لا بحضرة الميت ولم ينو الثواب له أو نواه ولم يدع
Syaikhul islam Zakariya al Anshari al Syafii mengatakan bahwa sesungguhnya pendapat yang masyhur (dalam madzhab imam syafii) mengenai pembacaan al qur'an, adalah apabila tidak dibaca di dekat / hadapan mayit, serta pahalanya tidak diniyatkan sebagai hadiah, atau berniat tetapi tidak berdo'a.[17]           
            Hal tersebut karena imam Syafii sendiri berpendapat sunnah membaca al Qur'an di dekat mayit. Imam Syafi'I berkata :
قال الشافعي رحمه اللّه: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن وإن ختموا القرآن (كله كان حسناً. (دليل الفالحين 6 : 1.3).
" Disunnahkan membaca sebagian ayat al qur'an di dekat mayit dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca al qur'an sampai khatam".[18]
            Dan banyak riwayat yang menyatakan bahwa imam Syafi'I berziarah ke makam Laits bin Saad dan membaca al Qur'an dimakam tersebut.
وقد تواتر ان الشافعي زار الليث بن سعد وأثنى خيرا وقرأ عنده ختمة وقال أرجوا ان تدوم فكان الامر كذلك
Sudah populer diketahui oleh banyak orang bahwa imam Syafi'I pernah berziarah ke makam Laits bin Sa'ad. Beliau memujinya, dan membaca al qur'an sekali khatam didekat makamnya. Lalu beliau berkata, "saya berharap semoga hal ini terus berlanjut dan senantiasa dilakukan.[19]

Kesimpulan :
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :                                        
1.    Hukum berkumpul dirumah keluarga mayit dengan membaca al qur'an, tahlil dan lain-lain hukumnya boleh.
2.    Hukum pemberian jamuan dari pihak keluarga mayit kepada para tamu (penta'ziyah) itu hukumnya boleh dan dianggap baik secara syara'. Hal itu karena (tujuan dari pihak keluarga mayit) adakalanya untuk menghormati para tamu yang berta'ziyah itu adalah suatu keutamaan. Atau   bertujuan untuk bersedekah yang pahalanya diperuntukkan bagi si mayit. Maka jika demikian perbuatan itu adalah sunnah (mustahab) secara syara' dan suatu keutamaan dengan kemufakatan para ulama'. Dengan cataan jangan diambilkan dari harta ahli waris yang masih kecil (yatim), ghaib (tidak ada di tempat), atau tidak diketahui keridoannya.
3.    menurut mayoritas ulama' (jumhur ulama') ahlussunnah wal jama'ah hukum menghadiahkan pahala segala bentuk amal baik seperti, sedekah, baca al qur'an, puasa, salat dan lain-lain itu boleh dan sampai kepada mayit.Sedang untuk menghadiahkan pahala bacaan al qur'an





[1] Disampaikan pada acara diskusi interaktif dalam rangka memperingati maam nuzulul qur'an pada tanggal 19 Ramadlan tahun 1434 H
[2]Muhammad  bin Ali as Syaukani " ar Rasail as salafiyah" hlm: 46,  Tth.
[3] Syekh Nawawi al Bantenni, " Nihayah al-Zain" , Juz I, halaman 281, al hidayah, Surabaya, tth)
[4]Thawus al-Yamani adalah seorang tabi`in terkemuka dari kalangan ahli Yaman.Beliau bertemu dan belajar dengan 50 – 70 orang sahabat Junjungan Nabi s.a.w.
[5] Imam as Suyuti " Al Hawi li al Fatawi", juz 2 hal: 178 al maktabah as Syamilah TTh
[6]. Imam As Suyuti, Ibid, hal 194.
[7] Ibid,
[8] Abu  Daud Sulaiman bin asyat as Sajistani" Sunan Abi Daud" hlm: 2894 , Dar al Kitab Arabi , Bairut,.tth
[9] M. Syamsul Haq Abadi Abu Toyyib, " Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud"  hal: 129, Dar al kitab al ilmiyah Bairut, th: 1415 H.
[10]Syekh Ibrahim al Halabi, "al Bariqat al muhammadiyah" hal: 253 huz 2 Tth.
[11]Syekh Ismail Utsman Zein al Yamani  al Makki, " رفع الإشكال وإبطال المغالاة في حكم الوليمة من اهل الميت بعد الوفاة " Tth
[12]Syekh Ismail Utsman Zein al Yamani  al Makki, " رفع الإشكال وإبطال المغالاة في حكم الوليمة من اهل الميت بعد الوفاة " Tth

[13]Syekh Ismail Utsman Zein al Yamani  al Makki, " رفع الإشكال وإبطال المغالاة في حكم الوليمة من اهل الميت بعد الوفاة " Tth

[14] Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani" Naulul Authar" idarat at tiba'ah al muniriyah Tth.
[15] Wahbah Az Zuhaili " Al Fiq al islami Wa adallatihi " Dar alfikr Suriyah Damaskus Tth
[16] Ibid
[17] Fatawa Al Azhar , Dar al ifta' al misriyah , http://www.islamic-council.com
[18] Muhammad Ali bin Muhammad as Syafi'I, Dalilul Falihin syarah Riyadus Shalihin, juz :6, hlm:103,  Tth.
[19] Ad Dzakhiroh at tsaminah, hlm: 64, Tth.